KLIKBISNIS – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi menetapkan kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 4 Desember 2024. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari upaya pengendalian konsumsi tembakau, perlindungan industri tembakau padat karya, dan optimalisasi penerimaan negara.
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Sebagai gantinya, kenaikan diterapkan pada batasan harga jual eceran hampir semua jenis produk tembakau.
Keputusan ini mencerminkan pendekatan baru pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan sektor industri.
Untuk kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM), batasan harga jual eceran golongan I naik sebesar 5,08% menjadi Rp2.375 per batang atau gram, sedangkan golongan II naik 7,6% menjadi Rp1.485.
Sigaret Putih Mesin (SPM) juga mengalami kenaikan dengan golongan I mencapai Rp2.495 (naik 4,8%) dan golongan II menjadi Rp1.565 (naik 6,8%).
Jenis rokok tradisional seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) mengalami kenaikan signifikan.
Golongan III naik hingga 18,6% menjadi Rp860 per batang, sementara golongan II naik 15% menjadi Rp995. Untuk golongan I, kenaikannya bervariasi antara 9,5% dan 13%.
Adapun untuk Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) dan Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF), harga jual eceran dinaikkan 5% menjadi Rp2.375 per batang.
Namun, kategori rokok lainnya seperti Tembakau Iris (TIS), Rokok Daun atau Klobot (KLB), Kelembak Kemenyan (KLM), dan Cerutu (CRT) tidak mengalami perubahan pada batasan harga jual ecerannya. Kenaikan harga jual eceran ini tidak hanya berlaku untuk produk tembakau lokal, tetapi juga untuk produk impor.
Misalnya, harga jual eceran minimum untuk Sigaret Kretek Mesin impor ditetapkan sebesar Rp2.375 per batang, dan Sigaret Putih Mesin impor sebesar Rp2.495 per batang. Ketentuan serupa berlaku untuk kategori produk tembakau lainnya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok, terutama di kalangan remaja dan kelompok rentan.
Selain itu, pemerintah tetap berkomitmen menjaga keberlangsungan industri tembakau, terutama yang melibatkan tenaga kerja padat karya.
Meski demikian, kebijakan ini menuai beragam respons dari masyarakat dan pelaku industri. Beberapa pihak mendukung langkah ini sebagai bagian dari upaya menekan konsumsi tembakau yang berdampak buruk pada kesehatan. Namun, ada pula yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap industri tembakau, terutama produsen kecil.
Keputusan untuk tidak menaikkan tarif cukai disambut positif oleh beberapa pelaku industri. Hal ini dianggap sebagai langkah kompromi yang memberikan ruang bagi industri tembakau untuk tetap beroperasi di tengah tekanan ekonomi.
Dengan penerapan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mencapai keseimbangan antara pengendalian konsumsi, perlindungan industri, dan peningkatan penerimaan negara.
Sri Mulyani optimistis kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesehatan masyarakat di masa depan.***